1. Kasus TBC
Berdasarkan data WHO Global Tuberculosis Report 2016, Indonesia
menempati posisi kedua dengan beban TBC tertinggi di dunia. Tren insiden kasus
TBC di Indonesia tidak pernah menurun. Masih banyak kasus yang belum terjangkau
dan terdeteksi. Kalaupun terdeteksi dan telah diobati, tetapi belum dilaporkan.
"Berdasarkan studi Global
Burden of Disease, TBC menjadi penyebab kematian kedua di dunia," ujar
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes Siswanto dalam
Rakernas Kemenkes di Tangerang, Selasa (6/3).
Angka TBC di Indonesia
berdasarkan mikroskopik sebanyak 759 per 100 ribu penduduk untuk usia 15 tahun
ke atas dengan jumlah laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, dan jumlah di
perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan.
Siswanto menyebutkan, solusi
yang bisa ditawarkan berupa peningkatan deteksi dengan pendekatan keluarga,
menyelesaikan under-reporting pengobatan TBC dengan penguatan PPM, meningkatkan
kepatuhan pengobatan TBC, perbaikan sistem deteksi MDR TBC (Klinik MDR TBC dengan
jejaringnya) dan akses terapi TBC MDR, edukasi TBC pada masyarakat dan
perbaikan perumahan, serta pemenuhan tenaga analis peningkatan sensitivitas Dx
(melalui NS individual).
2. Kasus stunting
Banyak faktor yang
menyebabkan stunting, di antaranya dari faktor ibu yang kurang nutrisi di masa
remajanya, masa kehamilan, pada masa menyusui, dan infeksi pada ibu.
"Faktor lainnya berupa kualitas pangan, yakni rendahnya
asupan vitamin dan mineral, buruknya keragaman pangan dan sumber protein
hewani, dan faktor lain seperti ekonomi, pendidikan, infrastruktur, budaya, dan
lingkungan," imbuh Siswanto.
Pada 2010, WHO membatasi
masalah stunting sebesar 20%. Berdasarkan Pemantauan Status Gizi 2015-2016,
prevalensi balita stunting di Indonesia dari 34 provinsi hanya ada 2 provinsi
yang berada di bawah batasan WHO tersebut.
Untuk mengatasi hal tersebut,
perlu intervensi spesifik gizi pada remaja, ibu hamil, bayi 0-6 bulan dan ibu,
bayi 7-24 bulan dan ibu.
"Selain itu diperlukan
juga intervensi sensitive gizi seperti peningkatan ekonomi keluarga, program
keluarga harapan, program akses air bersih dan sanitasi, program edukasi gizi,
akses pendidikan, dan pembangunan infrastruktur," kata Siswanto.
3. Kasus imunisasi
Kejadian Luar Bisa (KLB) difteri dan campak yang baru-baru ini
terjadi membuat pemerintah harus kembali menganalisa terkait cakupan imunisasi
yang telah dilakukan, mutu atau kualitas vaksin yang ada, serta kekuatan
surveilans di berbagai daerah.
Berdasarkan data dari
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, pada
2015 cakupan imunisasi secara nasional mencapai 86,5%, pada 2016 mencapai
91,6%, dan pada 2017 mencapai 92,4%.
"Usulan penajaman program
penting dilakukan, yaitu berupa peningkatan cakupan imunisasi, edukasi kepada
masyarakat dan advokasi pada pimpinan wilayah, dan membangun sistem surveilans
yang kuat untuk deteksi kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi," ujar Siswanto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar